ilustrasi menangis |
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu. Ketika pemuda itu masuk masjid Nabawi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikannya sambil menitikkan air mata.
Rasulullah melihat Mush’ab datang ke masjid dengan pakaian dari kain beludru. Kain kasar dan paling murah saat itu. Sudah begitu, bajunya tambalan pula.
Padahal dulu sewaktu berada di Makkah, ketika masih hidup bersama ibunya, Mush’ab adalah pemuda parlente. Pakaiannya paling indah di Makkah. Sandalnya didatangkan dari Hadhramaut. Parfumnya juga paling wangi, dibeli khusus di luar negeri. Yang kalau Mush’ab melewati suatu jalan, orang pasti tahu Mush’ab telah lewat di situ karena harum khas parfumnya.
Khunas binti Malik, ibunda Mush’ab, demikian memanjakannya dengan segala fasilitas. Makanan terlezat dihidangkan buat Mush’ab. Bahkan ketika Mush’ab tidur, di sampingnya disediakan makanan dan makanan kesukaannya agar sewaktu ia bangun, ia bisa langsung menikmati makanan itu sebelum merasa lapar.
Tapi sejak masuk Islam, segala fasilitas itu dicabut. Mush’ab diboikot oleh keluarganya. Jangankan pakaian indah dan parfum terharum, makanan saja Mush’ab sering tak punya. Puasa dan lapar menjadi menu kesehariannya.
“Lihatlah dia ini, orang yang hatinya diterangi oleh Allah. Aku dulu melihatnya bersama orangtuanya yang memberikan makanan dan minuman paling enak. Aku dulu melihatnya mengenakan baju seharga dua ratus dirham. Lalu kecintaanya kepada Allah dan Rasul-Nya menuntunnya pada kondisi seperti yang kalian lihat sendiri,” sabda Rasulullah.
Para sahabat ikut menangis. Mereka ahlus suffah, tinggal di emperan Masjid Nabawi. Tapi sebagian mereka terbiasa hidup pas-pasan sejak dulu. Sedangkan Mush’ab, mereka membandingkan betapa kontras hidupnya yang kaya raya dengan kondisi sekarang.
Tapi dialah duta pertama yang diutus Rasulullah ke Yatsrib. Mengajarkan Islam kepada suku Aus dan Khajraj. Mendakwahi mereka hingga tidak satu rumah pun melainkan sudah ada yang bersyahadat. Hingga Yatsrib siap menerima hijrahnya Rasulullah dan kemudian dinamakan Madinah.
Mush’ab syahid ketika perang Uhud. Melihat jasad Mush’ab, Rasulullah juga menangis. Pemuda paling tampan itu syahid dalam kondisi dua tangannya putus. Dan ia tidak memiliki kafan kecuali sebuah kain yang jika ditutupkan ke kepalanya, kakinya kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya kelihatan.
“Tutupkan kain itu ke kepalanya, dan tutuplah kedua kakinya dengan idkhir,” demikian petunjuk Rasulullah kepada para shahabat yang hendak memakamkan Mush’ab.
Kelak, ketika mengingat Mush’ab, tidak sedikit sahabat yang juga menangis. Abdurrahman bin Auf yang kaya raya, suatu ketika dihidangkan makanan kepadanya padahal ia sedang berpuasa. Ia pun tak kuasa menahan air mata.
“Mush’ab bin ‘Umair adalah orang yang lebih baik dariku. Ia meninggal dalam keadaan mengenakan selimut yang terbuat dari bulu. Apabila kepalanya ditutup, maka terbukalah kakinya. Jika kakinya ditutup lebih baik dariku. Ketika ia terbunuh di dalam peperangan, kain yang mengafaninya hanyalah sepotong,” kata Abdurrahman bin Auf sambi menangis.
“Sedangkan kami telah diberi kekayaan dunia yang sebanyak-banyaknya. Kami khawatir, jikalau kebaikan kami telas dibalas dengan kekayaan ini.” [Muchlisin BK/Tarbiyah.net]
0 komentar:
Posting Komentar