ilustrasi |
Umar bin Abdul Aziz berhasil menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan untuk rakyatnya. Hingga mereka kesulitan menemukan orang yang mau menerima zakat. Hingga para ulama berijtihad, bolehkah zakat disalurkan ke luar negeri Islam.
Ia juga dikenal sangat zuhud. Menjelang wafat, ia hanya meninggalkan warisan untuk anak-anaknya masing-masing delapan dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak. Yang jika dikurskan dengan rupiah saat ini, nilainya sekitar 80.000 rupiah. Maka delapan dirham hanya senilai 640.000 rupiah.
Sebagai sepupu, Maslamah bin Abdul Malik tak tega mengetahui hal itu. Ia ingin membantu.
“Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau tega hanya memberi warisan delapan dirham kepada anak-anakmu. Titipkanlah mereka kepadaku dan aku akan mencukupi semua keperluan mereka,” kata Maslamah. “Aku ini pangeran Bani Umayyah yang paling kaya. Kalau pangeran lain kaya karena warisan, aku kaya karena bisnis dan perdagangan.”
“Tidak wahai Maslamah. Aku telah menitipkan anak-anakku kepada Yang lebih kaya darimu?”
“Siapa dia?”
“Allah,” jawab Umar dengan penuh keyakinan. “Maka daripada mengkhawatirkan masa depan anak-anakku, lebih baik engkau persiapkan jawaban saat nanti dihisab Allah, dari mana seluruh hartamu itu.”
Jawaban ini membuat Maslamah tertegun. Umar bin Abdul Aziz tak pernah khawatir dengan masa depan anak-anaknya. Sepanjang mereka bertaqwa kepada Allah, maka itu cukup bagi mereka.
Baca juga: Ayat Kursi
Dan belasan tahun kemudian, anak-anak Umar bin Abdul Aziz yang tadinya hanya mendapat warisan delapan dirham, tumbuh menjadi para pembayar zakat terbesar di masanya. Bahkan ada yang berinfaq 100.000 dinar dalam sebuah jihad fi sabilillah.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisa: 9)
Bagaimana dengan kita? Apa yang sudah kita siapkan untuk anak-anak kita? [Muchlisin BK/Tarbiyah]
0 komentar:
Posting Komentar